“Dalam putusan itu sudah jelas, masuk ranah perdata. Sehingga Kejati Jateng memaksakan kehendak jika melakukan penanganan pidana,” ujarnya.
Untuk bisa masuk pidana, menurutnya, harus dipastikan terlebih dahulu ada tidaknya kerugian negara dalam pemberian kredit tersebut. Jika tidak ada kerugian negara, maka tidak bisa dilakukan penanganan tindak pidana dalam hal ini korupsi.
“Untuk masuk ke ranah pidana yaitu korupsi, maka terlebih dahulu harus diperiksa atau dihitung terlebih dahulu kerugian negaranya,” tambahnya.
Koordinator Aliansi Masyarakat Pemerhati Hukum Indonesia (AMPHI), Andi Susilo mengatakan, adanya putusan sela hakim PN Semarang tersebut, maka penetapan tersangka pengusaha Semarang, Agus Hartono, merupakan bentuk kriminalisasi.
Sehingga, menurutnya, penanganan perkara pidana yaitu dugaan korupsi terkait pemberian kredit dari Bank BJB ke PT Seruni Prima Perkasa, merupakan perbuatan melawan hukum.
“Selain Kejati Jateng memaksakan masuk ranah pidana, juga melakukan kriminalisasi dengan menetapkan tersangka Agus Hartono yang posisinya selaku avalis atau penjamin pemberian kredit itu,” katanya.
Jika dikaitkan dengan dugaan percobaan pemerasan yang dilakukan oknum jaksa Kejati Jateng, katanya, indikasinya semakin kuat. Yaitu dengan mengkriminalisasi Agus Hartono yang sebenarnya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban baik perdata maupun pidana.
“Kemudian oknum jaksa nakal tersebut meminta sejumlah uang dengan imbalan tidak ditetapkan sebagai tersangka,” tuturnya. (Ak/El)