Scroll Untuk Baca Artikel
Headline

Stempel Hoaks dan Iklan Digital Programatik Mengandung Konten Palsu Disorot

×

Stempel Hoaks dan Iklan Digital Programatik Mengandung Konten Palsu Disorot

Sebarkan artikel ini
Ilustrasi (istimewa)

Sementara itu pada sesi ketiga, narasumber banyak menyoroti soal peredaran iklan digital (programmatic ads) dari perusahaan teknologi digital yang kontennya memuat informasi palsu. Kondisi ini memprihatinkan karena pada sisi lain, media daring memerlukan pemasukan.

Guna mengatasi kondisi tersebut, para pemantik serta penanggap dalam diskusi bertajuk “​​Membersihkan Iklan Digital (Programmatic Ads) di Media Online dari Potensi Mis/Disinformasi” mendorong perlunya menciptakan ekosistem bisnis yang sehat. Media tetap menjaga kualitas dengan menayangkan iklan yang mematuhi kode etik periklanan dan tidak menyebarkan kebohongan.

Pemantik dalam diskusi ketiga ini, masing-masing, Fakhrurrodzi Baidi (CEO Riauonline.co.id), Moch. Rifki (Head of Publisher Development MGID Indonesia), Heru Margianto (Managing Editor Kompas.com), serta penanggap Denia Isetianti (warganet yang kontennya digunakan tanpa izin dalam pariwara daring), dan FX. Lilik Dwi Mardjianto (Dosen Program Studi Jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara).

Heru menyatakan, pihaknya memutus kerjasama dengan MGID Indonesia karena konten-konten programmatic ads dari perusahaan tersebut kental dengan hoaks. Pelatih pengecek fakta ini memberikan contoh konten iklan produk penurun berat badan yang menggunakan foto hasil comotan dari internet dan narasi yang difabrikasi.

Pengiklan membalut produknya dengan cerita fiksi terkait temuan produk penurun berat badan hingga 15 kilogram dalam satu pekan oleh Rini Kusumastuti. “Yang brutal, sampai-sampai (konten dibuat seolah-olah) Menteri Sosial Risma memberikan penghargaan dan mendukung produk itu,” tegas Heru sembari menegaskan hasil pengecekan fakta tidak menemukan informasi soal temuan perempuan tersebut tidaklah benar adanya.

Alih-alih memutus kerjasama dengan MGID, pengelola programmatic ads, Fakhrurrodzi Baidi menyatakan, pihaknya terus memberikan kritik dan masukan kepada MGID. “Kami kirim via email kepada mereka. Kalau tidak membaik juga maka kredibilitas media juga ikut memburuk. Kalau begitu mungkin kami akan putus kerjasama sementara,” kata Fakhrurrodzi.

Menyoal praktik buruk programmatic ads tersebut, Lilik Dwi Mardjianto mengusulkan agar pengiklan, agensi periklanan, perusahaan penyedia teknologi iklan, serta publisher atau media berkolaborasi guna membahas penyelesaiannya. “Ini klise dan pasti lama,” ujar Lilix.

Pihak media, sambung Lilix, mau tidak mau perlu melakukan terobosan dengan mengedepankan prinsip konten aman baru memikirkan profit. Bisa dengan membentuk tim guna verifikasi konten programmatic ads. Selain itu mengedepankan kerjasama dengan perusahaan teknologi yang mengutamakan kualitas konten iklan.

Dewan Periklanan Indonesia juga perlu memastikan seluruh penyelenggara periklanan tunduk pada etika pariwara Indonesia. Prinsip swakrama yang dasarnya dibentuk oleh komunitas periklanan itu sendiri perlu dipegang teguh. “Sudah ada anjuran agar pelaku periklanan melakukan konfirmasi ulang jika menemui informasi yang diduga tidak benar atau tidak tepat,” tambah Lilix.

Menanggapi berbagai kritikan tersebut, Moch. Rifki sebagai perwakilan MGID mengaku sudah melakukan pembenahan bertahap ke manajemen dan tim kontennya. Mereka juga memanfaatkan piranti verifikasi serta pengecekan informasi secara manual guna mengeliminir konten-konten iklan yang diduga disinformasi.

“Di internal kami lakukan edukasi untuk mekanisme advertorial yang benar. Kepada manajemen juga kami sampaikan edukasi terkait pendekatan kepada market Indonesia ada hal-hal yang penting diperhatikan dari sisi konten,” tutur Rifki yang menggunakan skema High Safety Ranking kepada iklan-iklan yang masuk ke MGID dari pengiklan.

Korban dari penggunaan konten di media sosial yang tidak bertanggungjawab untuk pariwara, Denia Isetianti mengapresiasi media massa dan MGID yang menyatakan permohonan maaf secara terbuka usai memuat foto tanpa izin dibalut narasi yang tidak benar.

Warganet bisa mengikuti langkah Denia dengan mengirimkan somasi kepada media massa jika ada foto atau dokumen elektronik miliknya tanpa izin.

“Yang jadi catatan saya adalah ketika iklan (yang memuat foto saya) sudah diturunkan, ada lagi iklan dengan foto orang lain. Itu harus diperhitungkan lebih lanjut (oleh media massa) karena jika dipermasalahkan ke polisi dan gugatan pasti panjang urusannya. Denda paling banyak Rp12 miliar dan pasalnya tidak mengharuskan ada kerugian (dari pelapor),” kata Denia.

Hari ini total peserta yang menghadiri tiga sesi diskusi terfokus mencapai 425 peserta. Rangkaian diskusi dan training Indonesia Fact-checking Summit 2021 masih akan berlangsung hingga Senin, 20 Desember 2021. Pendaftaran FGD dan training silakan mengisi link https://bit.ly/PendaftaranFGDIndonesiaFactCheckingSummit2021. Link Google Meet akan dikirim otomatis pada link yang didaftarkan. Sedangkan pendaftaran webinar silakan mengisi link bit.ly/DaftarWebinarFact-CheckingSummit2021 link otomatis akan dikirim ke email yang didaftarkan. (RI)

Tinggalkan Balasan