Kementerian ESDM mencatat penggunaan bahan bakar hidrogen tanpa emisi itu. Di antaranya terkhususkan untuk peralatan elektronik, kendaraan listrik berbasis hidrogen, hingga pembangkit listrik skala besar.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana di sela Pertemuan Menteri Energi ASEAN ke-41 (AMEM) dan Forum Bisnis Energi ASEAN mengungkapkan di Asia Tenggara terdapat potensi EBT mencapai sekitar 17.000 gigawatt.
Sedangkan di Indonesia, menurut perkiraan, potensi EBT mendekati 3.700 gigawatt dan pemanfaatannya baru mencapai sekitar 12,54 gigawatt.
Pemerintah melalui Kementerian ESDM mempertimbangkan kontribusi hidrogen dalam transisi pemanfaatan energi menggunakan fosil ke energi bersih di Indonesia.
Untuk sektor industri, jumlah konsumsi hidrogen per tahun di Indonesia sekitar 1,75 juta ton. Sebagian besarnya ialah untuk urea sebesar 88 persen, amonia sebesar empat persen, dan kilang minyak sekitar dua persen.
Investasi energi bersih
Pemerintah Indonesia sendiri memiliki peta jalan emisi nol karbon pada 2060. Targetnya ialah menurunkan emisi karbon hingga 93 persen dari proyeksi 1.927,4 juta ton CO2 menjadi 129,4 juta ton CO2 oleh aktivitas bisnis. Aktivitas bisnis yang mengeluarkan emisi CO2 seperti misalnya industri, perumahan, transportasi, komersial, dan pembangkit listrik.
Salah satu strateginya adalah memanfaatkan hidrogen sebagai salah satu sumber energi baru. Pemanfaatannya dengan rencana pada 2031-2035 hidrogen hijau berperan penting dalam menurunkan emisi karbon atau dekarbonisasi sektor transportasi dan mulai menggantikan gas alam pada 2041-2050.
Untuk mendukung transisi energi, pastinya membutuhkan waktu dan biaya yang tak sedikit. Hal itu selain karena terpacu komitmen yang besar dari seluruh elemen termasuk pemangku kepentingan.
Menteri ESDM Arifin Tasrif menyebutkan untuk merealisasikan transisi menuju energi bersih, negara di ASEAN perlu pembiayaan sekitar 29 triliun dolar AS hingga 2050. Pembiayaan itu dengan skema 100 persen energi terbarukan, berdasarkan data Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA).
Sementara dalam kajian Badan Energi Internasional (IEA) menyebutkan Indonesia membutuhkan hampir tiga kali lipat investasi untuk energi bersih pada 2030. Yakni, tambahan investasi sebesar 8 miliar dolar AS per tahun.
BACA JUGA: Dukung Transisi ke Kendaraan Listrik, Dinas ESDM Jateng Sebut Sarana Prasarana Sudah Siap
Anggaran transisi energi tak semata dari pemerintah
Anggaran untuk mendorong transisi energi itu tidak semata berasal dari pemerintah. Namun, itu bisa melalui skema inovatif, di antaranya pembiayaan campuran, atau melalui kerja sama pemerintah dan badan usaha (PPP). Selain itu, juga bisa melalui pendanaan internasional dengan dukungan insentif, kebijakan, hingga prosedur yang transparan.
Untuk itu, di tataran regional di Asia Tenggara sudah tersepakati 12 kerja sama. Kesepakatan itu menyangkut penelitian, pembiayaan hingga pengembangan energi bersih melalui forum AMEM ke-41 di Bali.
Bukan tidak mungkin, energi bersih, termasuk hidrogen, dapat menjawab kebutuhan energi ramah lingkungan. Selain itu, juga terjangkau kepada semua lapisan masyarakat di masa depan.
Dengan demikian, maka impian nelayan kecil seperti Ahmad yang mendambakan energi lebih baik dan terjangkau sangat mungkin bisa terwujud. Selain meningkatkan produktivitas, juga melindungi ekosistem dan sumber daya laut di dalamnya dari dampak emisi karbon. (ant)
Editor: Mu’ammar Rahma Qadafi