Disinyalir, langkah Pemprov itu mengundang risiko bencana yang tinggi. Terkait hal ini, Haeruddin menilai konflik sosial Wadas itu terjadi sebab kurangnya ruang diskusi antara Pemerintah dan warga.
“Kalau saya melihat itu, sebenarnya termasuk di Wadas ya, itu kurangnya ruang diskusi dan sosialisasi. Jadi masyarakat itu tidak paham apa yang diiinginkan oleh penyelenggara pembangunan,” terang Haeruddin.
BACA JUGA: Tingkatkan Penanganan Konflik Sosial, Bakesbangpol Gelar Diskusi Bersama Pelajar
Haeruddin menilai, polemik Wadas sudah dapat terselesaikan semenjak Pemprov mulai membuka ruang diskusi. Terutama melibatkan tokoh masyarakat yang menjadi panutan warga Wadas.
“Ketika pintu komunikasi itu kita coba buka, tentu saja melibatkan tokoh masyarakat dan agama, adanya proses diskusi di situ, nyatanya Wadas bisa kita selelsaikan. Sampai dengan hari ini Wadas sudah selesai,” sambungnya.
Perihal pencetusan Raperda Penanganan Konflik Sosial, Haeruddin mantap mendukung Komisi A DPRD Provinsi Jateng untuk meneruskan ini sebagai Perda. Dalam menanganani konflik sosial, menurutnya, penting peran masyarakat untuk terlibat secara langsung. Melalui Perda itu, Haeruddin meyakini peran masyarakat akan lebih banyak hadir untuk turut menyelesaikan konflik secara baik.
“Karena dari situ kemudian akan diatur bagaimana melibatkan partisipasi masyarakat, terutama di daerah wilayah konflik, Partisipasi masyarakat lokal untuk ikut serta menyelesaikan konflik yang ada, karena kalau masyarakat tidak dilibatkan, maka penyelesaian konflik itu hanya penyelesaian di atas meja saja. Tetapi kalau masyarakat turut langsung di dalamnya harapannya konflik itu bisa tuntas,” pungkas Haeruddin. (*)
Editor: Mu’ammar Rahma Qadafi