“Kegiatan pembelajaran tetap dilakukan di sekolah dengan waktu yang disesuaikan, kemudian materi pembelajaran lebih banyak diarahkan ke kegiatan-kegiatan keagamaan,” papar Ngasbun.
Sementara untuk usulan ketiga adalah paduan dari kedua model tersebut. Artinya, perpaduan di mana ada hari tertentu siswa belajar di sekolah dan ada hari tertentu di mana sekolah berkegiatan di rumah.
Menurut Ngasbun, ketiga model tersebut merupakan usulan terbaik. Yang terpenting, jangan sampai siswa libur dan tidak lagi fokus baik pembelajaran maupun keagamaan.
“Intinya jangan di liburkan. Yang baik adalah memanfaatkan waktu Ramadhan secara produktif. Ada struktur dalam kegiatan-kegiatan di luar sekolah, atau kegiatan di luar sekolah seperti di rumah atau di tempat ibadah. Tetapi itu adalah kegiatan-kegiatan yang terprogram, sistematis, terjadwal dan itu di kendalikan oleh sekolah dan guru,” ucap Ngasbun.
BACA JUGA: Minggu Terakhir Libur Sekolah, Wisata Edukasi di Semarang Zoo Bisa jadi Pilihan
Ngasbun menambahkan, jangan sampai bulan Ramadhan identik dengan libur selama satu bulan penuh. Adapun bagi siswa yang beragama lain bisa di kemas dengan kegiatan yang menyesuaikan. Dengan begitu, kata Ngasbun, bulan Ramadhan akan tetap menjadi bulan yang produktif bagi siswa sekolah.
“Kalau libur bisa jadi anak-anak hanya tidur sepanjang hari ketika tidak ada aktivitas sekolah. Meliburkan berarti menganggurkan orang dan itu berarti tidak memanfaatkan aktivitas bulan puasa yang harusnya produktif. Jadi secara filosofi tidak bagus kalau di liburkan,” tandasnya. (*)
Editor: Farah Nazila