Catatan Editor

Busuknya Solusi “Nikahkan Saja” sebagai Penanganan Kasus Pemerkosaan dan Kekerasan

×

Busuknya Solusi “Nikahkan Saja” sebagai Penanganan Kasus Pemerkosaan dan Kekerasan

Sebarkan artikel ini
farah nazila
Farah Nazila. (Dokumen Pribadi)

TAK lama ini, masyarakat Indonesia dihebohkan dengan kasus pemerkosaan yang dialami oleh dua dara kakak dan adik, yakni DSA (15) dan KSH (17) di Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Kontroversi juga muncul karena perangkat desa dan kiai setempat malah menikahkan DSA, yang sedang mengandung, dengan tersangka, yakni AIS (19).

Kasus seperti ini bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Pada tahun 2021 silam, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Bekasi bernama Amri Tanjung (21) ditetapkan sebagai tersangka kasus pemerkosaan dan eksploitasi seksual terhadap seorang anak perempuan di bawah umur. Kasus ini semakin heboh dengan adanya niatan dari pelaku untuk menghapus kesalahannya dengan cara menikahkan korban.

Tak heran, jika kasus pemerkosaan yang sempat pengacara kondang Hotman Paris singgung ini juga memancing perhatian Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Arifatul Choiri Fauzi. Ia menyayangkan nikah siri tersebut, dan menyebut menikahkan korban dan pelaku kekerasan seksual bukanlah solusi.

BACA JUGA: 3 Remaja jadi Tersangka Pemerkosaan Kakak-Adik Purworejo, Salah Satunya Anak Berkebutuhan Khusus

Bukan tanpa alasan, ia mengatakan bahwa pelaku dan korban kasus pemerkosaan di Purworejo ini masih sama-sama anak.

Restorative justice = pemulihan hak korban kekerasan seksual?

Berdasarkan survei dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI-FHUI) tahun 2016, sebanyak 51,6 persen dari 2000 responden menganggap pernikahan antara pelaku dan korban kekerasan seksual bisa menjadi alasan yang layak untuk meringankan hukuman pelaku. MaPPI-FHUI juga menemukan bahwa banyak putusan hakim menggunakan alasan tersebut sebagai landasan untuk meringankan hukuman.

Landasan tersebut seakan-akan melanggengkan pernikahan siri dan kerugian yang korban alami terhapuskan karena adanya pernikahan tersebut.

Dalam proses hukum, terdapat sebuah istilah bernama Restorative Justice, yaitu konsep keadilan berbasis pemulihan hak yang sering aparat penegak hukum gaungkan. Tampaknya, hal tersebut sering mereka pakai untuk sebatas penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan. Padahal, keadilan restoratif menurut European Forum for Restorative Justice, adalah pendekatan yang berfokus pada pemulihan atas kerugian dari kasus kejahatan.

BACA JUGA: Kasus Dugaan Pemerkosaan Oknum Polisi, Polda Jateng Persilakan Pengacara Buktikan 

Dari sini, bisa kita pahami bahwa konsep keadilan restoratif tidak ter-apply dalam ‘solusi’ menikahkan pelaku dengan korban kekerasan seksual. Sebab, tidak ada keadilan serta kepastian hukum melalui proses hukum.

Berdasarkan studi Barometer Kesetaraan Gender Tahun 2020 dari Indonesian Judicial Research Society (IJRS), sebanyak 26,2 persen korban kekerasan seksual dinikahkan dengan pelaku sebagai penyelesaian. Dalihnya pun beragam, untuk menutup aib keluarga hingga bisa menghindari tanggung jawab pidana. Justru, menikahkan korban dengan pelaku ini bukan solusi. Bahkan, hal itu malah menjadi bentuk kekerasan tambahan bagi korban, ini benar-benar logika yang sangat kejam. Sebab, terdapat luka-luka psikologis atau trauma yang serius dan berat. Korban akan mengalami trauma yang berlipat ganda jika ia menikah dengan orang yang telah merusak hidupnya.

Bukankah pernikahan itu berdasarkan dari pilihan bebas? Apakah pemaksaan perkawinan, terlebih pada anak, dapat membuat anak itu bahagia? Padahal, hal tersebut sudah dilarang dalam Konstitusi, UU HAM, UU Perlindungan Anak, dan UU Perkawinan, orang tua maupun negara wajib mencegah terjadinya perkawinan anak.

BACA JUGA: Update Kasus Rudapaksa Kakak-Adik di Purworejo: Hasil Tes DNA Anak Korban Tak Sesuai Tersangka

Simak berbagai berita dan artikel pilihan lainnya lewat WhatsApp Channel beritajateng.tv dengan klik tombol berikut:
Gabung ke Saluran

Tinggalkan Balasan