SELALU ada yang menarik ketika kita mendiskusikan film yang tak hanya menghibur, tetapi juga mengandung isu yang dekat dengan kehidupan. Salah satunya adalah It Ends with Us, film adaptasi novel karya penulis Colleen Hoover yang sukses besar. Colleen Hoover merupakan penulis dari Amerika Serikat yang terkenal karena novel-novel romantisnya; banyak mengandalkan drama dan emosi.
Pertama kali tahu Colleen Hoover adalah semasa saya masih duduk di bangku SMA, It Ends with Us yang rilis pada tahun 2016 ini merupakan karyanya yang menarik minat saya untuk mengenal karyanya lebih jauh. Cara Hoover membangun karakter dan cerita adalah keunggulannya yang menurut saya cukup menarik, tak heran mengapa banyak pembaca, khususnya di Amerika Serikat, yang mengidolakannya.
Empat tahun setelah rilis, mungkin sejak tahun 2020, It Ends with Us meraih popularitasnya yang mega luar biasa, bahkan fenomenal. Dari Bookstagram (komunitas online dimana para pembaca buku membagikan kecintaan mereka melalui konten), TikTok (BookTok), dan Menfess buku di Twitter/X yang gencar merekomendasikan buku ini kepada pembaca.
Buku yang popularitasnya fenomenal itu menjelma menjadi sebuah film yang dinanti-nantikan. Menariknya, pemeran utama It Ends with Us adalah Blake Lively, ya, aktris cantik yang terkenal dari film Gossip Girl dan A Simple Favor itu memerankan karakter buku yang selama ini hidup dalam bayangan para penggemar.
BACA JUGA: Memori Kolektif Bocah-bocah Menolak Saleh dalam Novel Teranyar Eka Kurniawan
Tayang sejak 9 Agustus 2024 di AS, film It Ends with Us sekali lagi, meraih kesuksesannya dengan meraup lebih dari Rp 1 miliar di empat hari pertama penayangannya di bioskop. (Varity)
Film ini mengisahkan seorang wanita muda bernama Lily Bloom yang memiliki masa kecil traumatis dimana ia sering melihat ayahnya melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap ibunya. Ketika dewasa, ia menemui pria tampan nan sukses, Ryle Kincaid yang bekerja sebagai dokter bedah saraf. Kehidupan baru bersama Ryle yang awalnya manis, kemudian menjadi mimpi buruk untuk Lily setelah adanya kekerasan dalam rumah tangganya.
Ada beberapa faktor yang menjadikan sebuah film sukses. Salah satunya adalah ekspektasi para penonton. Meski begitu, film ini memiliki cerita yang sureal, terlebih dalam mengeksplorasi kekerasan domestik itu sendiri.
Di awal film, terdapat adegan Ryle yang tengah marah, menendang kursi. Dari sana sudah terlihat stereotipe pelaku kekerasan yang memiliki masalah dalam mengontrol emosinya. Padahal, faktanya pelaku kekerasan adalah pemegang kendali yang kuat. Maka, tak jarang juga penelitian yang menyebut bahwa pelaku kekerasan berusaha untuk mengontrol penuh atas pasangan mereka. Kontrol ini bisa terwujudkan dalam berbagai bentuk, baik secara fisik, emosional, seksual, maupun finansial. (Wolfe dan Feiring (dalam Trifiani, 2012)